Akan ku ceritakan sesuatu.
Beberapa hari belakangan aku merasa sedih berkepanjangan. Aku memilih untuk diam saja karena aku tahu semua orang sedang sibuk semester ini. Percuma jika aku ceritakan ini kepada mereka. Mereka terlalu lelah mendengarkanku. Ceritaku hanya berkutat di situ-situ saja. Aku berharap, aku bahagia dengan harapanku, lalu aku kecewa karena harapanku tak sesuai dengan kenyataan yang ada
Tak ada yang bisa menyelamatkanku dari kesedihan ini, kecuali diriku sendiri. Bahkan jika aku sudah bercerita kepada ribuan orang yang baru aku kenal sekalipun, ini hanya kesalahanku semata yang tidak bisa mengeluarkan diriku dari kesedihan ini.
Kesedihan apa?
Kesedihan tentang harapan-harapan yang aku buat sendiri, yang aku gantungkan pada manusia dan diriku sendiri, dan harapan-harapan itu tak berujung. Sepertinya aku pula yang tidak bersyukur tentang apa yang sudah aku dapatkan.selama ini. Akupun tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Jadi, sedikit saja harapanku tak terwujud, dadaku akan terasa sesak luar biasa dan aku mulai menangis.
Aku banyak menangisi keadaan atau orang itu atau orang tuaku atau bahkan diriku sendiri. Bukan aku tidak bersyukur dilahirkan, tetapi aku masih tidak bisa menerima keadaanku yang seperti ini.
Aku menarik diri dari pembicaraan semacam ini ke banyak orang, karena aku tahu kita semua ada di dalam gejolak yang hampir sama: kesibukan yang membuat tensi tinggi dan kadar kesabaran serta ketekunan orang yang berbeda-beda. Aku sempat menolak membicarakan ini kepada seorang temanku. Dia bilang jika ada sesuatu, katakan saja. HAHA. Nyatanya aku tidak bisa mendengar opini dia dalam menanggapi ceritaku. Aku harus apa?
Aku terus saja marah dan kecewa ketika harapan-harapan itu tak terwujud. Beberapa hal kecil pun sering tak terwujud dan itu semua membuatku ingin membanting barang, merusak apa yang ada di sekitarku, dan berteriak. Pernah aku ceritakan ini kepada temanku mahasiswa Psikologi dan dia bilang padaku agar aku melakukan hobiku saat aku marah. Dan pada akhirnya, aku menulis. Menulis sembari menahan sesak dan air mata. Terkadang air mata yang tak terbendung jatuh ke kertas di mana aku menulis. Tetapi aku tetap harus menangis dalam diam. Apalagi yang harus kulakukan jika dadaku terasa sesak seperti itu? Melihat keindahan pantai, melalui perjalanan jauh dan tidak mudah, semua sudah kulakukan. Tidak satupun mengurangi sesaknya.
Apa aku kurang bersyukur?
Sepertinya begitu...
Umurku masih 20, dan empat hari lagi akan menjadi 21. Aku berharap angka 21 bukanlah sekadar angka. Angka ini masih jauh dari kata dewasa. Bahkan banyak orang yang menganggap diri sudah dewasa di umur 40 atau 50an pun masih belum dewasa. Hal kecil saja masih membuatku menangis. Aku tidak bisa berada dalam keadaan tertekan sesedikit apapun. Bagaimana aku bisa disebut dewasa? Bagaimana aku harus menghadapi orang tuaku saat aku lulus nanti? Haruskah aku dengan tegas bilang bahwa aku sudah dewasa? Tidak mungkin.
Aku ingin membalas dendam pada mereka, pada dunia yang tidak perlu usaha untuk memperkaya diri. Di sini aku harus berjuang, dengan modal ijazahku kelak. Apakah hal ini yang membuatku sedih?
Aku ingin membalas dendam pada mereka yang tidak pernah menganggapku ada. Apakah aku ingin eksistensiku diakui? Jelas. Aku manusia. Tetapi apakah aku bisa bertanggung jawab bila eksistensiku itu sudah diakui? Apakah hal ini yang membuatku sedih?
Aku ingin semua hal yang aku rencanakan terlaksana dengan baik. Apa usahaku?
Aku menuntut diriku terlalu banyak. Pun pada orang lain.
Aku ingin didengarkan. Apakah ada orang yang benar-benar aku dengarkan selama ini?
Aku ingin dimotivasi. Apakah aku memotivasi diriku sendiri?
Aku ingin sukses. Apakah aku tekun dalam melakukan sesuatu?
Aku terus berkaca pada diriku sendiri dan berefleksi. Pada akhirnya, aku menyalahkan diriku sendiri. Belakangan aku menyadari bahwa aku tidak bisa mendengarkan orang lain, terutama jika orang-orang mulai berteriak dan mengumpat. Aku hanya mendengar apa yang ingin aku dengar. Sisanya, aku tidak tahu aku sedang apa. Aku terlarut dalam kesedihan meski aku tidak tahu apa hal yang membuat aku sesedih itu. Seseorang bilang bahwa aku pernah mengalami luka batin dalam masalah kecewa ini. Tapi mana ku tahu? Aku masih bocah saat itu. Apakah ini karena luka batin itu?
Aku juga menyadari bahwa aku menarik diri dari banyak orang dan mulai bergantung pada seseorang karena aku pikir semua orang sedang lelah. Berbicara dengan mereka tidak akan ada gunanya. Aku tidak bisa berkonsentrasi pun. Pikiranku melayang entah ke mana. Kadang aku marah pada orang di jalan. Kadang aku marah kepada teman-temanku dan menyuruh mereka melakukan segala yang aku inginkan.
Yang aku ingin syukuri di sini adalah setidaknya aku punya orang lain yang aku bisa ajak bicara tentang hal lain. Aku tidak suka membahas hal ini karena dadaku akan terasa sesak lagi dan aku pun akan terus menangis. Aku masih bisa berinteraksi dengan orang lain meskipun kata-kataku terkadang tidak enak didengar.
Aku terlihat normal dan bisa berinteraksi. Aku bersyukur akan itu.
Terserah saja orang mau menilai apa. Cengeng? That's my nickname. I hope I know myself better.
You've overcome that, dudeee ...
ReplyDelete