Monday, August 19, 2019

Almost is Never Enough (Short Story)

 Siang itu, taman itu lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena siang itu lumayan terik dan hari itu adalah hari kerja. Jarang ada orang yang berjalan-jalan di jam segini pada hari kerja. Aku duduk di salah satu bangku taman dengan pemandangan sekitar yang lumayan bagus. Aku bisa melihat kolam air mancur yang ada di tengah taman, jalan setapak yang dibuat menggunakan batu alam, rumput hijau, semak-semak, dan pohon-pohon besar yang membuat taman itu rindang dan sejuk. Aku juga bisa melihat beberapa pasang anak sekolah—mungkin anak SMA, pakaian mereka putih abu-abu—yang sepertinya sedang berpacaran lalu ingin berjalan-jalan sambil bergandengan tangan mengelilingi taman yang sepi. Tidak banyak orang yang ada di sana. Tempat bermain anak juga sepi karena di sana panas sekali, tidak banyak pohon untuk menutupi tempat bermain itu.
            Aku mengeluarkan ponselku lalu mengambil earphone dari tas serutku. Aku mulai mencari-cari lagu apa yang cocok dengan suasana hatiku saat ini. Ah, kalian belum kuberitahu. Aku sering jalan-jalan ke taman ini ketika sedang penat dengan pikiranku. Pekerjaanku? Pekerjaanku hanya berpikir, makanya aku bisa datang siang-siang begini di hari kerja. Baik, kembali ke ponselku. Setelah memasang earphone dan dua menit mencari lagu, aku menemukan sebuah lagu yang pas. Almost Is Never Enough. Lagu ini dinyanyikan oleh Ariana Grande dan Nathan Sykes. Aku mulai mendengarkan denting piano, intro lagu tersebut.
            Aku bersandar di bangku taman yang aku tempati, memejamkan mata, menikmati suasana, dan mulai tenggelam dalam lantunan kedua penyanyi lagu tersebut. Aku menghela napas panjang. Aku tidak berselera mendengarkan lagu lain, jadi aku memasang loop mode—non-stop—pada lagu itu. Aku juga mematikan jaringan internetku agar aku tidak menerima pesan apapun dari siapapun. Hari ini sangat berat. Aku mulai memikirkan lagi keputusanku untuk menunggu.
Sudah beberapa tahun aku menunggu. Lebih tepatnya, tiga tahun. Aku hanya bisa tersenyum seadanya bila orang mulai bertanya, “Mau sampai kapan?” atau terkadang banyak juga yang langsung menyuruhku berhenti menunggunya. Suatu hari aku mendengarkan perkataan ini dari temanku yang sepertinya sudah lelah mendengarkan ceritaku, “Bayangkan berapa lama kau sudah membuang waktumu. Tiga tahun. Tiga ratus enam puluh lima hari dikali tiga! Lebih dari seribu hari, kau tahu? Terimalah kenyataan, dia menyukai gadis lain! Bagaimana kalau ada yang diam-diam memerhatikanmu dari jauh dan kau kehilangan orang itu gara-gara dia?” Aku hanya tersenyum seadanya. Katakanlah senyum pahit. Aku sudah berkali-kali diperingatkan dan dihadapkan dengan kenyataan, tapi aku tidak mau.
Keputusanku untuk menunggu sudah bulat waktu itu, sehingga aku memutuskan untuk menunggu setidaknya dua tahun. Aku menunda deadline-nya karena aku kira aku masih bisa menunggunya untuk melihatku dan segala yang kulakukan untuknya. Kemudian, aku mulai berpikir untuk apa semua ini. Semua yang kulakukan seperti sia-sia. Tidak meninggalkan kesan apapun baginya.
“Mengapa?” aku bergumam tidak jelas, masih sambil mendengarkan lagu dan memejamkan mata. “Mengapa kau tidak bisa melihatku barang sedetik?”
Aku mendengus lagi, tertawa kecil. Lalu, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Aku harus apa?” kataku sambil tetap terpejam.
Ingatan-ingatan itu kembali. Kesederhanaan hari-hari kami. Kami bertemu, makan bersama, berdiskusi, berdebat—bahkan tak jarang berselisih paham parah, bepergian. Ada juga hari-hari yang spesial—untukku, hanya untukku—seperti saat dia mencium keningku atau memelukku karena dia bilang dia ingin melakukannya. Kami berteman dengan baik, sangat baik.
Lagu ini sukses membuatku kembali ke masa di mana aku memutuskan untuk menunggunya. Aku pikir almost is never enough, sama seperti judul lagu ini. Kami tidak berpacaran, kami berteman. Namun, banyak yang berkata, “Teman? Laki-laki dan perempuan biasanya tidak bisa hanya berteman. Salah satu pasti memendam perasaan. Kami sudah tahu kau menyukainya. Benar, ‘kan? Kalian pergi bersama ke manapun, mungkin tidak kalau ke kamar mandi, tapi bagaimana kau menjelaskan tentang pergi bersama ke kantin, perpustakaan, ruang kegiatan... Oh! Bahkan kalian di kelas juga duduk bersebelahan. Coba kau jelaskan apa maksudnya dengan ‘hanya berteman’?” Saat itu aku kehilangan kata. Hanya bisa kujawab dengan senyum seadanya yang biasa kulemparkan pada mereka yang menasihatiku. Aku masih bersedia menunggunya waktu itu.
Lagu itu akhirnya kembali ke awal lagi.
I’d like to say we gave it a try
I’d like to blame it all on life
And maybe we just weren’t right
But that’s a lie, that’s a lie
Liriknya mengalir demikian di awal lagu. Suara Ariana Grande sukses membuatku mulai mencerna kata-kata dari lirik tersebut. Selama ini, aku sudah meluangkan waktuku lumayan banyak. Bisa dibilang sekitar 365 hari aku tambahkan untuk menunggunya, tetapi aku kembali menyalahkan kenyataan hidupku dengan bertanya, “Apakah yang aku lakukan untuknya benar-benar sia-sia?” padahal dari cerita ini kalian tahu, akulah yang menambahkan ratusan hari itu untuk menunggunya, berharap dia bisa melihatku.
Aku tenggelam jauh sekali dalam lagu itu. Lalu, tiba-tiba ada seseorang duduk di sebelahku. Aku tidak mendengar ada langkah kaki karena aku memakai earphone, tetapi aku bisa merasakan ada seseorang di sebelahku. Aku tahu aroma tubuh siapa ini. Aku membuka mataku perlahan karena aku tidak terkejut sama sekali. Aku tersenyum, melepas earphone, dan berkata dengan nada pura-pura terkejut, “Kau? Sedang apa di sini?”
“Jalan-jalan. Aku bosan di rumah, lalu pergi ke mana kita biasa pergi, tapi kau tidak di sana. Aku memutuskan ke sini saja begitu lewat,” jawabnya ringan.
“Oh,” aku mengangguk. “Kau tidak pergi bersama gadis itu?”
Dia tertawa kecil, “Yang mana?”
“Yang biasa kau ceritakan setiap hari itu. Ada yang lain?” kataku kesal.
Dia tertawa lagi, “Mana mau dia aku ajak jalan. Sebisa mungkin dia membuat jarak denganku. Lagi pula, ini hari kerja.”
         Aku hanya tertawa. Entah tertawa karena aku benar-benar senang cintanya juga bertepuk sebelah tangan atau apa, intinya aku tertawa bersamanya. Rasanya menyenangkan sekali bisa tertawa seperti itu. Hal itulah yang akan aku rindukan jika kami berpisah suatu saat nanti.
            “Sudah makan siang?” tanyanya.
            Aku menggeleng, “Aku tidak lapar. Nanti saja. Kau?”
            “Entahlah, aku juga tidak lapar. Tapi sepertinya aku lihat ada yang jual sosis bakar di sebelah sana. Mau?”
            “Boleh dicoba. Aku tak pernah beli makanan di sekitar sini, jadi jangan harap sosis bakar itu murah,” aku memasukkan earphone dan ponselku ke dalam tas.
            “Tenang, aku traktir,” katanya ringan sambil menepuk-nepuk dompetnya dan tersenyum sombong.
            “Wah! Baru dapat hujan uang di mana?” tanyaku sambil tertawa.
         “Aku kerja, tahu! Memangnya kau, terlalu banyak berpikir, siang bolong melamun di sini berharap ada hujan uang,” jawabnya dengan tampang sinis.
            Aku memukul bahunya kuat-kuat, “Sialan! Diam! Baru mau mentraktir sosis bakar saja sudah sombong. Besok aku traktir kau makan enak di restoran seberang sana itu!”
            “Kupegang omonganmu! Awas kalau kau bicara omong kosong!” Kali ini dia menepuk-nepuk bahunya yang tadi kupukul sambil bergumam, “Sakit, tahu.”
          Aku tertawa mendengarnya. Dia seperti anak kecil jika sudah begitu. Sederhana, bukan? Beginilah kesederhanaan hari-hari kami selama tiga tahun terakhir. Bahkan mengobrol biasa bisa terkesan seperti orang bertengkar hebat.
            Kami pun berjalan ke tempat orang yang menjual sosis bakar itu. Dia pesan dua. Satu pedas, satu tidak. Dia tidak suka makanan pedas. Perutnya bisa melilit malam harinya setelah dia makan[A2]  pedas. Akulah yang akan memakan sosis pedas yang dia pesan. “Masih tidak bisa makan pedas?” tanyaku.
            “Jelas. Sekali tidak bisa makan pedas, selamanya tidak akan bisa makan pedas. Padahal enak,” jawabnya dengan nada kecewa.
            “Coba saja punyaku nanti. Satu gigitan tidak akan membuatmu masuk rumah sakit,” kataku sambil menahan liur melihat sosis-sosis itu di atas panggangan.
            “Kau yang akan membawaku ke rumah sakit besok jika aku makan sosis pedas punyamu,” balasnya sambil menunjuk bumbu sosis pedas yang ada di sebelah pemanggang dengan bibirnya. Warnanya merah marun dan baunya... uh, sepertinya akan pedas sekali rasanya. “Hati-hati kau,” katanya sambil tersenyum sinis.
            “Ini orang... benar-benar, ya, kau! Kalau yang itu aku juga bisa sakit perut tahu! Kenapa tidak bilang dari tadi?” Aku memarahinya, lalu bicara dengan penjual sosisnya. “Tolong jangan banyak-banyak bumbunya, ya, Pak. Saya juga tidak tahan pedas.”
          “Ini tidak sepedas kelihatannya, Neng. Tidak bikin diare,” jawab penjual sosis itu sambil tersenyum ramah.
            Aku hanya bisa mengangguk pasrah saja bila diberi bumbu merah marun yang banyak itu. Si yang-menawari-sosis-bakar menahan tawanya, takut kumarahi lagi. Dia benar-benar senang[A3]  melihatku panik seperti itu. Di satu sisi, aku juga senang. Senang menemani hari-harinya seperti ini.
            Sosis bakar itu sudah ada di tangan kami. Kami kembali ke taman, tetapi tidak kembali ke tempat duduk kami. Kami memilih berjalan-jalan di taman itu sambil berbincang. Kami mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari hal-hal yang sederhana sekali tetapi tidak terpikirkan olehku, sampai hal-hal yang rumit dan tidak masuk akal yang lebih tidak terpikirkan olehku bisa dibahas olehnya.
          “Coba lihat sosis ini, mengapa harus disayat-sayat seperti ini? Sebenarnya dengan bentuk aslinya pun kita masih bisa memakannya,” katanya sambil memutar-mutar sosis yang ditusuk dengan bambu ditangannya.
            Aku ikut-ikut memutar-mutar sosis di tanganku dan memasang wajah bingung, tetapi tidak berkata apa-apa. Kami tidak melanjutkan pembicaraan, karena kemudian kami makan sosis yang ada di tangan kami.
            Kami masih berjalan mengitari taman, masih sambil mengobrol tentang hal-hal remeh yang tidak terpikirkan. Terkadang aku bertanya dalam hati, “Bagaimana jika aku tiba-tiba pergi dan tidak ada di sampingmu? Dengan siapa kamu membicarakan hal-hal remeh ini?”
             Dia berhenti tiba-tiba, “Hei, kau ini dengar atau tidak?”
            Aku yang masih terus berjalan dan baru menyadari dia berhenti kemudian berhenti, “Dengar apa?”
            “Aku barusan bicara panjang lebar tentang teknologi air mancur yang ada di taman ini. Kau tidak dengar?” katanya kesal.
            “Oh, maaf, aku tidak dengar apa-apa,” jawabku sambil meringis.
            “Huh! Malas aku bicara padamu. Tidak didengarkan,” dia mengeluh.
            Aku masih meringis, tidak tahu mau bilang apa.
            “Kau memikirkan apa seharian ini? Bahkan pesanku tidak kau balas,” tanyanya sambil duduk di bangku taman terdekat.
            Akhirnya dia bertanya, batinku. Tidak mungkin aku menjawab yang sebenarnya kalau aku memikirkan dia seharian ini. Aku mengikutinya duduk di bangku taman itu. “Bukan apa-apa, hanya sedang banyak pikiran.”
            “Itulah pekerjaanmu. Berpikir terus, tindakan tidak ada,” dia menggigit sosisnya. “Bekerjalah, biar ada sesuatu yang berguna dari dirimu itu.”
            Aku memukul bahunya keras-keras sembari dia tertawa dan mengelus-elus bahunya. Aku melanjutkan menghabiskan sosisku. “Bagaimana pekerjaanmu?”
            “Urus dirimu sendiri dulu,” jawabnya sambil tertawa.
            “Hih!” aku mendengus kesal, “ditanya baik-baik juga, jawabnya begitu.”
            “Maaf, maaf,” katanya sambil meringis. “Pekerjaanku baik-baik saja, tetapi temanmu yang satu ini kurang tidur gara-gara pekerjaan-pekerjaan itu,” ia melanjutkan lalu memakan habis sosisnya.
            Aku tersenyum, “Baguslah kalau pekerjaanmu baik-baik saja. Aku tidak terlalu peduli dengan kau.”
            Dia melotot kesal. Sepertinya, ia ingin sekali menjitak kepalaku saking kesalnya. Aku hanya tertawa melihat reaksinya yang seperti itu.
            Tiba-tiba, aku merasa suasana menjadi semakin hangat, sama seperti hari-hari lainnya bersama dia. Hangat dan akrab. Suasana yang tidak bisa kubayangkan bila aku bersama dengan orang lain. Sederhana, tetapi aku amat menyukainya.
            “Kau yakin tidak ingin menceritakannya padaku?” dia bertanya lagi.
            “Menceritakan apa?” tanyaku, pura-pura bingung.
            “Isi kepalamu itu,” jawabnya ketus, tahu bahwa aku pura-pura bingung.
            “Mungkin aku sedang siklus bulanan. Sensitif sekali sekarang aku ini. Bukan hal serius atau masalah keluarga, jadi kau tenang saja,” jawabku asal.
            Dia mengangguk-angguk, bosan dengan jawabanku yang sudah dia ketahui. “Kau tahu, aku selalu memikirkan ini,” kali ini dia tampak serius.
            “Memikirkan apa?” tanyaku sambil memutar badan ke arahnya.
            Dia mengangkat kepalanya, menatap dedaunan hijau di dahan-dahan pohon. Dia menghela napas, “Bagaimana jika kita harus berpisah?”
            Aku tertegun mendengar pertanyaannya, sedikit menahan napas, tetapi aku tidak bisa memberikan jawaban apapun padanya.
            Dia membenahi posisi duduknya, lalu menatapku, “Maksudku, bagaimana kalau aku kemudian punya pasangan dan kau juga? Kau tahu kita sudah seharusnya memiliki jalan hidup masing-masing ‘kan, termasuk pasangan. Bagaimana kalau kita punya pasangan masing-masing? Apakah kita masih akan akrab seperti ini? Pasangan kita marah tidak, ya, kalau tahu kita adalah teman dekat? Hm, aku penasaran.”
            Aku masih belum bisa mencerna apa yang barusan dia katakan. Aku terus mencoba memahami kata-katanya, namun gagal. Apa maksudnya?
            “Hei, kau tidak mungkin terus menempel padaku seperti ini, ‘kan? Kau pasti akan punya pasangan sendiri nanti. Aku juga. Aku akan mendapatkan gadis pujaanku itu. Aku akan mendekatinya pelan-pelan,” dia melanjutkan dengan senyum terkembang, sepertinya dia sedang membayangkan gadis itu.
            Aku meringis, bingung mau menjawab apa, “Terserah kau sajalah. Siapa pula yang mendekatiku sampai sekarang? Tidak ada ‘kan?”
            Dia tertawa, “Itu karena kau masih menempel terus padaku.”
            “Memangnya kau tidak menempel padaku? Hei, lihat, siapa yang tahu-tahu datang ke sini duduk di sebelahku dan mengajakku bicara hal-hal aneh seperti ini,” aku meninggikan nada bicaraku, tidak terima.
            “Baiklah, baiklah. Jujur saja, gadis pujaanku itu sebenarnya agak terganggu dengan keberadaanmu di sekitarku. Dia menganggap kau adalah penggemar nomor satuku yang siap menerkam siapa saja yang mendekatiku,” dia bicara dengan nada agak serius. Lalu, dia mendekati telingaku dan berbisik, “Dia takut padamu.”
            Aku melotot padanya dan memukul bahunya untuk kesekian kali, “Apa kau bilang?!”
            “Sampai kapan kau mau memukuliku begitu? Bisa memar semua badanku,” dia mengelus-elus bahunya lagi.
            “Menyebalkan sekali kau ini. Pulang sana!” aku mendengus kesal.
            Dia hanya tertawa. Setelah tawanya reda, dia berkata, “Aku serius tentang pertanyaan itu tadi. Bagaimana kalau kita berpisah suatu saat nanti?”
           Aku menghela napas, agak berat jika dia menyadarinya, “Yang pasti aku akan memastikan kita masih bisa berteman.”
          “Semoga begitu,” dia mengangguk-angguk lalu menatap dedaunan di atas yang menaungi kami.
            Aku menunduk dan tanpa kusadari aku meneteskan air mata. Dia berpaling ke arahku, “Kau tidak sedih ‘kan mendengar pertanyaanku? Jangan-jangan kau bertambah sedih karena aku membuatmu membayangkan kita akan berpisah. Tunggu, kau menangis?”
            “Membayangkannya saja aku tidak bisa,” kataku sambil tersenyum tapi tetap menangis.
            Dia menyentuh pipiku dan menyeka air mataku, “Hei, kau sebegitu sedihnya membayangkan itu? Maaf, aku bertanya hal yang tidak-tidak.”
            Tembok yang sedang kubangun runtuh seketika saat dia menyentuhku lembut dan menyeka air mataku. Bagaimana bisa aku berhenti menunggunya, jika dia seperti ini? Bagaimana bisa aku berhenti menunggunya, jika dia bertindak seolah dialah satu-satunya yang menyayangiku di sini? Bagaimana bisa... bagaimana? Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?
            We can deny it as much as we want
            But in time our feelings will show
            ‘cause sooner or later
            We’ll wonder why we gave up
            The truth is everyone knows
             Tiba-tiba lirik lagu itu terlintas di pikiranku. Aku tidak pernah mengerti perasaannya yang sebenarnya. Aku tidak bisa memahami jalan pikirannya. Orang-orang bilang bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku. Namun, ini sudah seribu hari. Seribu hari lebih. Semua perhatiannya padaku itu hanya sebatas perhatian seorang teman, katanya. Lalu, siapa yang memegang kebenaran itu? Cukup, aku menyerah di sini. Aku menyerah mencari jawaban atas pertanyaan ini. Tidak berguna.
            “Mengapa...” aku meredakan tangisanku dan mulai membuka mulutku, bertanya, “mengapa kau sebaik ini padaku? Tahukah kau bahwa orang-orang bilang ada sesuatu di antara kita?”
            “Hei, kita sudah bersama-sama selama tiga tahun. Butuh waktu yang lama untukku memiliki teman dekat sepertimu seperti saat ini. Kau teman dekat yang istimewa, sungguh. Tidak ada yang memahami diriku seperti yang kamu lakukan,” jawabnya sambil masih menyeka air mataku.
            Almost, almost is never enough
            So close to being in love
            If I would have known that you wanted me
            The way I wanted you
            And maybe we wouldn’t be two worlds apart
            But right here, in each other arms
            Teman dekat, dia bilang. Baik, aku akan menyusun lagi batu-batu dari tembok yang hancur tadi. Tidak akan kubiarkan tembok ini runtuh lagi dihadapannya. Perasaan sialan. Menganggu pembangunan tembok tebal ini saja.
            “Hm,” dia berdeham, “apakah selama ini kau masih menungguku?”
            Pikir saja sendiri, batinku. Kesal sekali aku mendengar pertanyaannya. Bukankah semua tindakanku sudah jelas?[A4]  Ingin kupukul bahunya sekali lagi, tetapi tidak sanggup. Aku hanya diam, memikirkan bagaimana aku harus menyampaikannya, “Ya, aku masih menunggumu, tiga tahun ini.”
            Dia tertegun, tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca.
            “Maaf, karena sudah tidak jujur padamu. Selama ini aku mencari waktu yang tepat untuk menyudahi semua penantianku yang sia-sia ini, tetapi aku selalu gagal. Memikirkan hari-hariku tanpamu saja sudah sulit, bagaimana aku harus pergi dari kehidupanmu?” aku mulai menangis lagi. “Sepertinya sudah saatnya aku berhenti. Kau akan memiliki gadis pujaanmu itu suatu saat nanti, akupun begitu. Hidup harus terus berjalan dan aku tidak mungkin akan tetap seperti ini.”
            And we almost, we almost knew what love was
            But almost is never enough
             “Aku kira kau sudah berhenti waktu itu, waktu kau bilang kau ingin berhenti. Tahun lalu ‘kan?” dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Aku kira kita sudah berteman seperti biasa.”
            “Tidak, kawan. Aku masih menunggumu. Aku menunggumu berpaling kepadaku dan melihatku. Tapi kau tidak pernah bisa melihatku. Aku bisa apa?” aku tersenyum pahit. Sakit sekali rasanya mengatakan ini.
            “Mengapa tak kau katakan ini lebih awal? Kukira sudah cukup kau menungguku,” dia mencoba menahan emosinya yang mungkin rasanya sudah hampir meledak sekarang. “Mengapa?”
            “Aku tidak mau pertemanan kita rusak karena ini. Kau benar, harusnya aku tak menunggumu, aku buang-buang waktu saja,” jawabku.
            “Alasan klasik,” dia mendengus kesal. “Apakah ini penyebab kau ada di sini di siang bolong begini? Mematikan jaringan internetmu dan membuatku atau orang lain tidak bisa menghubungimu? Kau menangisiku?”
            “Awalnya aku tidak ingin menangisimu, tetapi kau datang,” aku masih berusaha tersenyum.
            If I could change the world overnight
            There’d be no such thing as goodbye
            You’d be standing right where you were
            And we’d get the chance we deserve
             Suara Nathan Sykes berputar di kepalaku. Sungguh, bisakah aku menghilang saja dari sini sekarang? Atau bisakah aku putar ulang waktunya sekarang? Aku ingin kembali ke satu tahun yang lalu, di mana aku menghancurkan kepercayaannya padaku. Aku tidak harus mengakui bahwa aku memendam perasaan padanya waktu itu. Mengapa kondisinya jadi kacau sekarang?
            “Kita bisa saja sedang berkencan sekarang jika saja kejadian setahun lalu itu tidak terjadi,” katanya dengan tatapan kosong ke belakangku. “Sayangnya, itu tidak akan terjadi sekarang.”
            “Aku tahu. Aku minta maaf atas kejadian itu,” kataku sambil menyeka pipiku.
            “Mengapa kau tidak berhenti saja waktu itu?” tanyanya lagi. Kali ini dia menatap mataku. Dia bisa tahu apakah aku menjawab jujur atau tidak.
            Aku menghindari tatapan matanya, “Aku sudah mencobanya, aku belum bisa.”
            “Mengapa kau menghindari tatapan mataku?” tanyanya tegas. Dia seperti tidak akan membiarkanku membohonginya lagi.
            Kami berdua diam dalam waktu yang cukup lama. Aku yakin dia punya banyak pertanyaan di kepalanya sekarang, walaupun dia tahu tak satupun pertanyaan akan kujawab dengan jujur. Aku berkali-kali bilang maaf, tetapi dia seperti tidak dengar.
            Akhirnya dia buka suara, “Maaf, aku tidak menyadarinya. Maaf, barusan aku marah padamu.”
            Ganti aku yang tertegun. Dia yang minta maaf?
         “Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri sampai tidak menyadari semua tindakanmu ada maksud tertentu,” katanya sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. “Maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu.”
           Aku tersenyum semampuku, “Terima kasih.”
           “Untuk apa?” tanyanya heran.
        “Untuk semua yang sudah kau lakukan padaku beberapa tahun ini. Kau perhatian padaku, mengajakku diskusi tentang banyak hal yang bahkan tidak terpikirkan olehku, kau menemaniku belajar hingga aku bisa seperti ini sekarang. Terima kasih,” kataku sambil tersenyum.
           Dia menatapku seolah bertanya, “Mengapa kau berterima kasih untuk hal-hal itu?”
            “Karena jika tidak ada kau yang bertingkah seperti itu padaku, aku tidak akan pernah belajar memahami orang lain,” aku melanjutkan.
          Dia menatapku dalam-dalam dengan matanya yang berkaca-kaca, hingga aku tenggelam dalam tatapan itu dan tidak sadar dia sudah mencium keningku. Kemudian, dia memegang bahuku dan berkata, “Kau ini keras kepala sekali. Aku akan merindukanmu.”
            We can deny it as much as we want
            But in time our feelings will show
            ‘cause sooner or later
            We’ll wonder why we gave up
            The truth is everyone knows
            Aku benar-benar ingin menghilang dari sini. Ah, mengapa suara Nathan Sykes terdengar jelas sekali, berputar di kepalaku.
            Almost, almost is never enough (It’s never enough, babe)
            So close to being in love (So close)
            If I would have known that you wanted me
            The way I wanted you
            And maybe we wouldn’t be two worlds apart
            But right here, in each other arms
             Suara Ariana dan Nathan sekarang berpadu dalam melodi yang indah di kepalaku. Ini seperti latar suara sebuah drama televisi. Ada yang aneh di sini. Tidak ada yang memutar lagu dengan pengeras suara di sekitar sini, ‘kan? Taman ini cukup sepi untuk dengan jelas mendengar musik dengan pengeras suara. Namun, tidak ada yang menyalakan pengeras suara di sini.
            And we almost, we almost knew what love was
            But almost is never enough
            “Hei,” dia menyentuh bahuku. Aku tersenyum. Tidak bisa menjawab. “Permisi,” katanya lagi.
        Aku bingung, mengapa dia bilang permisi? Dia mau ke mana? Ada apa ini? Mengapa pandanganku jadi kabur? Aku memejamkan mataku.
            Kemudian, aku membuka mataku lagi. Tidak ada. Dia tidak ada. Dia ke mana? Siapa laki-laki yang di depanku ini? “Maaf, Anda siapa?” Aku membuka earphone-ku.
            “Bukankah kau adalah teman dari temanku yang waktu itu? Hei, kita pernah bertemu. Masih ingat padaku?” tanyanya. Orang ini antusias sekali.
            Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat siapa dia. Semenit kemudian aku ingat, aku pernah bertemu dengannya di tempat temanku yang lain. Aku juga ingat betapa orang ini menarik perhatianku dari awal bertemu, “Oh, hei. Aku ingat kau. Apa kabar? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
            “Aku baik. Kebetulan aku sedang berjalan di dekat sini, lalu aku mampir. Kau sendiri apa kabar? Sedang apa di sini sendirian?” Dia tertawa. “Bahkan kau tidur siang di sini, kau tidak punya tempat untuk tidur?”
            Aku ikut tertawa, masih tertawa canggung, “Aku baik. Aku tadi sedang cari udara segar, terlalu pengap berada di dalam ruangan seharian. Benarkah aku tertidur barusan?”
            Orang ini tertawa lagi, “Jelas sekali kau tertidur. Pulas sekali tidur siangmu. Udara di sini memang sejuk, anginnya sepoi-sepoi.”
            Aku tertawa canggung lagi, kemudian menarik napas dalam-dalam.
            “Sudah makan?” tanyanya.
            Aku menggeleng pelan, “Kau?”
         “Mau sosis bakar? Tadi aku lihat ada yang jualan sosis bakar di sana,” katanya sambil menunjuk penjual sosis bakar yang ada di pinggir taman.
           “Boleh, aku lapar,” jawabku sambil tertawa. Kami pun pergi ke tempat penjual sosis itu sambil mengobrol tentang banyak hal.
            Siang itu, di taman, aku mendapatkan jawaban yang selama ini aku cari atas pertanyaan-pertanyaanku. Belum semua pertanyaan terjawab, tetapi aku sudah tahu apakah aku harus menunggu atau tidak.

No comments:

Post a Comment