Siang itu, taman itu lebih sepi dari biasanya. Mungkin
karena siang itu lumayan terik dan hari itu adalah hari kerja. Jarang ada orang
yang berjalan-jalan di jam segini pada hari kerja. Aku duduk di salah satu
bangku taman dengan pemandangan sekitar yang lumayan bagus. Aku bisa melihat
kolam air mancur yang ada di tengah taman, jalan setapak yang dibuat
menggunakan batu alam, rumput hijau, semak-semak, dan pohon-pohon besar yang
membuat taman itu rindang dan sejuk. Aku juga bisa melihat beberapa pasang anak
sekolah—mungkin anak SMA, pakaian mereka putih abu-abu—yang sepertinya sedang
berpacaran lalu ingin berjalan-jalan sambil bergandengan tangan mengelilingi
taman yang sepi. Tidak
banyak orang yang ada di sana. Tempat bermain
anak juga sepi karena di sana panas sekali, tidak banyak pohon untuk menutupi
tempat bermain itu.
Aku mengeluarkan
ponselku lalu mengambil earphone dari
tas serutku. Aku mulai mencari-cari lagu apa yang cocok dengan suasana hatiku
saat ini. Ah, kalian belum kuberitahu. Aku sering jalan-jalan ke taman ini
ketika sedang penat dengan pikiranku. Pekerjaanku? Pekerjaanku hanya berpikir,
makanya aku bisa datang siang-siang begini di hari kerja. Baik, kembali ke
ponselku. Setelah memasang earphone dan
dua menit mencari lagu, aku menemukan sebuah lagu yang pas. Almost Is Never Enough. Lagu ini
dinyanyikan oleh Ariana Grande dan Nathan Sykes. Aku mulai mendengarkan denting
piano, intro lagu tersebut.
Aku bersandar di bangku
taman yang aku tempati, memejamkan mata, menikmati suasana, dan mulai tenggelam
dalam lantunan kedua penyanyi lagu tersebut. Aku menghela napas panjang. Aku
tidak berselera mendengarkan lagu lain,
jadi
aku memasang loop mode—non-stop—pada
lagu itu. Aku juga mematikan jaringan internetku agar aku tidak menerima pesan
apapun dari siapapun. Hari ini sangat berat. Aku mulai memikirkan lagi keputusanku untuk menunggu.
Sudah beberapa tahun aku menunggu. Lebih tepatnya,
tiga tahun. Aku hanya bisa tersenyum seadanya bila orang mulai bertanya, “Mau
sampai kapan?” atau terkadang banyak juga yang langsung menyuruhku berhenti
menunggunya. Suatu hari aku mendengarkan perkataan ini dari temanku yang
sepertinya sudah lelah mendengarkan ceritaku, “Bayangkan berapa lama kau sudah
membuang waktumu. Tiga tahun. Tiga ratus enam puluh lima hari dikali tiga!
Lebih dari seribu hari, kau tahu? Terimalah kenyataan, dia menyukai gadis lain!
Bagaimana kalau ada yang diam-diam memerhatikanmu dari jauh dan kau kehilangan
orang itu gara-gara dia?” Aku hanya tersenyum seadanya. Katakanlah senyum
pahit. Aku sudah berkali-kali diperingatkan dan dihadapkan dengan kenyataan,
tapi aku tidak mau.
Keputusanku
untuk menunggu sudah bulat waktu itu, sehingga aku memutuskan untuk menunggu
setidaknya dua tahun. Aku menunda deadline-nya
karena aku kira aku masih bisa menunggunya untuk melihatku dan segala yang
kulakukan untuknya. Kemudian, aku mulai berpikir untuk apa semua ini. Semua
yang kulakukan seperti sia-sia. Tidak meninggalkan kesan apapun baginya.
“Mengapa?”
aku bergumam tidak jelas, masih sambil mendengarkan lagu dan memejamkan mata.
“Mengapa kau tidak bisa melihatku barang sedetik?”
Aku
mendengus lagi, tertawa kecil. Lalu, aku menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya perlahan. “Aku harus apa?” kataku sambil tetap terpejam.
Ingatan-ingatan
itu kembali. Kesederhanaan hari-hari kami. Kami bertemu, makan bersama,
berdiskusi, berdebat—bahkan tak jarang berselisih paham parah, bepergian. Ada
juga hari-hari yang spesial—untukku, hanya untukku—seperti saat dia mencium
keningku atau memelukku karena dia bilang dia ingin melakukannya. Kami berteman
dengan baik, sangat baik.
Lagu
ini sukses membuatku kembali ke masa di mana aku memutuskan untuk menunggunya.
Aku pikir almost is never enough,
sama seperti judul lagu ini. Kami tidak berpacaran, kami berteman. Namun,
banyak yang berkata, “Teman? Laki-laki dan perempuan biasanya tidak bisa hanya
berteman. Salah satu pasti memendam perasaan. Kami sudah tahu kau menyukainya.
Benar, ‘kan? Kalian pergi bersama ke manapun, mungkin tidak kalau ke kamar mandi,
tapi bagaimana kau menjelaskan tentang pergi bersama ke kantin, perpustakaan,
ruang kegiatan... Oh! Bahkan kalian di kelas juga duduk bersebelahan. Coba kau
jelaskan apa maksudnya dengan ‘hanya berteman’?” Saat itu aku kehilangan kata.
Hanya bisa kujawab dengan senyum seadanya yang biasa kulemparkan pada mereka
yang menasihatiku. Aku masih bersedia menunggunya waktu itu.
Lagu
itu akhirnya kembali ke awal lagi.
I’d like to say we gave it a tryI’d like to blame it all on lifeAnd maybe we just weren’t rightBut that’s a lie, that’s a lie
Liriknya
mengalir demikian di awal lagu. Suara Ariana Grande sukses membuatku mulai
mencerna kata-kata dari lirik tersebut. Selama ini, aku sudah meluangkan
waktuku lumayan banyak. Bisa dibilang sekitar 365 hari aku tambahkan untuk
menunggunya, tetapi aku kembali menyalahkan kenyataan hidupku dengan bertanya,
“Apakah yang aku lakukan untuknya benar-benar sia-sia?” padahal dari cerita ini
kalian tahu, akulah yang menambahkan ratusan hari itu untuk menunggunya,
berharap dia bisa melihatku.
Aku
tenggelam jauh sekali dalam lagu itu. Lalu, tiba-tiba ada seseorang duduk di
sebelahku. Aku tidak mendengar ada langkah kaki karena aku memakai earphone, tetapi aku bisa merasakan ada
seseorang di sebelahku. Aku tahu aroma tubuh siapa ini. Aku membuka mataku
perlahan karena aku tidak terkejut sama sekali. Aku tersenyum, melepas earphone, dan berkata dengan nada
pura-pura terkejut, “Kau? Sedang apa di sini?”
“Jalan-jalan.
Aku bosan di rumah, lalu pergi ke mana kita biasa pergi, tapi kau tidak di
sana. Aku memutuskan ke sini saja begitu lewat,” jawabnya ringan.
“Oh,”
aku mengangguk. “Kau tidak pergi bersama gadis itu?”
Dia
tertawa kecil, “Yang mana?”
“Yang
biasa kau ceritakan setiap hari itu. Ada yang lain?” kataku kesal.
Dia
tertawa lagi, “Mana mau dia aku ajak jalan. Sebisa mungkin dia membuat jarak
denganku. Lagi pula, ini hari kerja.”
Aku hanya tertawa. Entah tertawa
karena aku benar-benar senang cintanya juga bertepuk sebelah tangan atau apa,
intinya aku tertawa bersamanya. Rasanya menyenangkan sekali bisa tertawa
seperti itu. Hal itulah yang akan aku rindukan jika kami berpisah suatu saat
nanti.
“Sudah makan siang?” tanyanya.
Aku menggeleng, “Aku tidak lapar.
Nanti saja. Kau?”
“Entahlah, aku juga tidak lapar.
Tapi sepertinya aku lihat ada yang jual sosis bakar di sebelah sana. Mau?”
“Boleh dicoba. Aku tak pernah beli
makanan di sekitar sini, jadi jangan harap sosis bakar itu murah,” aku
memasukkan earphone dan ponselku ke
dalam tas.
“Tenang, aku traktir,” katanya
ringan sambil menepuk-nepuk dompetnya dan tersenyum sombong.
“Wah! Baru dapat hujan uang di
mana?” tanyaku sambil tertawa.
“Aku kerja, tahu! Memangnya kau,
terlalu banyak berpikir, siang bolong melamun di sini berharap ada hujan uang,”
jawabnya dengan tampang sinis.
Aku memukul bahunya kuat-kuat,
“Sialan! Diam! Baru mau mentraktir sosis bakar saja sudah sombong. Besok aku
traktir kau makan enak di restoran seberang sana itu!”
“Kupegang omonganmu! Awas kalau kau
bicara omong kosong!” Kali ini dia menepuk-nepuk bahunya yang tadi kupukul
sambil bergumam, “Sakit, tahu.”
Aku tertawa mendengarnya. Dia
seperti anak kecil jika sudah begitu. Sederhana, bukan? Beginilah kesederhanaan
hari-hari kami selama tiga tahun terakhir. Bahkan mengobrol biasa bisa terkesan
seperti orang bertengkar hebat.
Kami pun berjalan ke tempat orang
yang menjual sosis bakar itu. Dia pesan dua. Satu pedas, satu tidak. Dia tidak
suka makanan pedas. Perutnya bisa melilit malam harinya setelah dia makan[A2] pedas. Akulah yang akan memakan sosis
pedas yang dia pesan. “Masih tidak bisa makan pedas?” tanyaku.
“Jelas. Sekali tidak bisa makan
pedas, selamanya tidak akan bisa makan pedas. Padahal enak,” jawabnya dengan
nada kecewa.
“Coba saja punyaku nanti. Satu
gigitan tidak akan membuatmu masuk rumah sakit,” kataku sambil menahan liur
melihat sosis-sosis itu di atas panggangan.
“Kau yang akan membawaku ke rumah
sakit besok jika aku makan sosis pedas punyamu,” balasnya sambil menunjuk bumbu
sosis pedas yang ada di sebelah pemanggang dengan bibirnya. Warnanya merah
marun dan baunya... uh, sepertinya akan pedas sekali rasanya. “Hati-hati kau,”
katanya sambil tersenyum sinis.
“Ini orang... benar-benar, ya, kau!
Kalau yang itu aku juga bisa sakit perut tahu! Kenapa tidak bilang dari tadi?”
Aku memarahinya, lalu bicara dengan penjual sosisnya. “Tolong jangan
banyak-banyak bumbunya, ya, Pak. Saya juga tidak tahan pedas.”
“Ini tidak sepedas kelihatannya,
Neng. Tidak bikin diare,” jawab penjual sosis itu sambil tersenyum ramah.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah
saja bila diberi bumbu merah marun yang banyak itu. Si
yang-menawari-sosis-bakar menahan tawanya, takut kumarahi lagi. Dia benar-benar
senang[A3] melihatku panik seperti itu. Di satu
sisi, aku juga senang. Senang menemani hari-harinya seperti ini.
Sosis bakar itu sudah ada di tangan
kami. Kami kembali ke taman, tetapi tidak kembali ke tempat duduk kami. Kami
memilih berjalan-jalan di taman itu sambil berbincang. Kami mengobrol tentang
banyak hal. Mulai dari hal-hal yang sederhana sekali tetapi tidak terpikirkan
olehku, sampai hal-hal yang rumit dan tidak masuk akal yang lebih tidak
terpikirkan olehku bisa dibahas olehnya.
“Coba lihat sosis ini, mengapa harus
disayat-sayat seperti ini? Sebenarnya dengan bentuk aslinya pun kita masih bisa
memakannya,” katanya sambil memutar-mutar sosis yang ditusuk dengan bambu
ditangannya.
Aku ikut-ikut memutar-mutar sosis di
tanganku dan memasang wajah bingung, tetapi tidak berkata apa-apa. Kami tidak
melanjutkan pembicaraan, karena kemudian kami makan sosis yang ada di tangan
kami.
Kami masih berjalan mengitari taman,
masih sambil mengobrol tentang hal-hal remeh yang tidak terpikirkan. Terkadang
aku bertanya dalam hati, “Bagaimana jika aku tiba-tiba pergi dan tidak ada di
sampingmu? Dengan siapa kamu membicarakan hal-hal remeh ini?”
Dia berhenti tiba-tiba, “Hei, kau
ini dengar atau tidak?”
Aku yang masih terus berjalan dan
baru menyadari dia berhenti kemudian berhenti, “Dengar apa?”
“Aku barusan bicara panjang lebar
tentang teknologi air mancur yang ada di taman ini. Kau tidak dengar?” katanya
kesal.
“Oh, maaf, aku tidak dengar
apa-apa,” jawabku sambil meringis.
“Huh! Malas aku bicara padamu. Tidak
didengarkan,” dia mengeluh.
Aku masih meringis, tidak tahu mau
bilang apa.
“Kau memikirkan apa seharian ini?
Bahkan pesanku tidak kau balas,” tanyanya sambil duduk di bangku taman
terdekat.
Akhirnya dia bertanya, batinku.
Tidak mungkin aku menjawab yang sebenarnya kalau aku memikirkan dia seharian
ini. Aku mengikutinya duduk di bangku taman itu. “Bukan apa-apa, hanya sedang banyak
pikiran.”
“Itulah pekerjaanmu. Berpikir terus,
tindakan tidak ada,” dia menggigit sosisnya. “Bekerjalah, biar ada sesuatu yang
berguna dari dirimu itu.”
Aku memukul bahunya keras-keras
sembari dia tertawa dan mengelus-elus bahunya. Aku melanjutkan menghabiskan
sosisku. “Bagaimana pekerjaanmu?”
“Urus dirimu sendiri dulu,” jawabnya
sambil tertawa.
“Hih!” aku mendengus kesal, “ditanya
baik-baik juga, jawabnya begitu.”
“Maaf, maaf,” katanya sambil
meringis. “Pekerjaanku baik-baik saja, tetapi temanmu yang satu ini kurang
tidur gara-gara pekerjaan-pekerjaan itu,” ia melanjutkan lalu memakan habis
sosisnya.
Aku tersenyum, “Baguslah kalau
pekerjaanmu baik-baik saja. Aku tidak terlalu peduli dengan kau.”
Dia melotot kesal. Sepertinya, ia
ingin sekali menjitak kepalaku saking kesalnya. Aku hanya tertawa melihat
reaksinya yang seperti itu.
Tiba-tiba, aku merasa suasana
menjadi semakin hangat, sama seperti hari-hari lainnya bersama dia. Hangat dan
akrab. Suasana yang tidak bisa kubayangkan bila aku bersama dengan orang lain. Sederhana,
tetapi aku amat menyukainya.
“Kau yakin tidak ingin
menceritakannya padaku?” dia bertanya lagi.
“Menceritakan apa?” tanyaku,
pura-pura bingung.
“Isi kepalamu itu,” jawabnya ketus,
tahu bahwa aku pura-pura bingung.
“Mungkin aku sedang siklus bulanan.
Sensitif sekali sekarang aku ini. Bukan hal serius atau masalah keluarga, jadi
kau tenang saja,” jawabku asal.
Dia mengangguk-angguk, bosan dengan
jawabanku yang sudah dia ketahui. “Kau tahu, aku selalu memikirkan ini,” kali
ini dia tampak serius.
“Memikirkan apa?” tanyaku sambil
memutar badan ke arahnya.
Dia mengangkat kepalanya, menatap
dedaunan hijau di dahan-dahan pohon. Dia menghela napas, “Bagaimana jika kita
harus berpisah?”
Aku tertegun mendengar
pertanyaannya, sedikit menahan napas, tetapi aku tidak bisa memberikan jawaban
apapun padanya.
Dia membenahi posisi duduknya, lalu
menatapku, “Maksudku, bagaimana kalau aku kemudian punya pasangan dan kau juga?
Kau tahu kita sudah seharusnya memiliki jalan hidup masing-masing ‘kan,
termasuk pasangan. Bagaimana kalau kita punya pasangan masing-masing? Apakah
kita masih akan akrab seperti ini? Pasangan kita marah tidak, ya, kalau tahu
kita adalah teman dekat? Hm, aku penasaran.”
Aku masih belum bisa mencerna apa
yang barusan dia katakan. Aku terus mencoba memahami kata-katanya, namun gagal.
Apa maksudnya?
“Hei, kau tidak mungkin terus
menempel padaku seperti ini, ‘kan? Kau pasti akan punya pasangan sendiri nanti.
Aku juga. Aku akan mendapatkan gadis pujaanku itu. Aku akan mendekatinya
pelan-pelan,” dia melanjutkan dengan senyum terkembang, sepertinya dia sedang
membayangkan gadis itu.
Aku meringis, bingung mau menjawab
apa, “Terserah kau sajalah. Siapa pula yang mendekatiku sampai sekarang? Tidak
ada ‘kan?”
Dia tertawa, “Itu karena kau masih
menempel terus padaku.”
“Memangnya kau tidak menempel
padaku? Hei, lihat, siapa yang tahu-tahu datang ke sini duduk di sebelahku dan
mengajakku bicara hal-hal aneh seperti ini,” aku meninggikan nada bicaraku,
tidak terima.
“Baiklah, baiklah. Jujur saja, gadis
pujaanku itu sebenarnya agak terganggu dengan keberadaanmu di sekitarku. Dia
menganggap kau adalah penggemar nomor satuku yang siap menerkam siapa saja yang
mendekatiku,” dia bicara dengan nada agak serius. Lalu, dia mendekati telingaku
dan berbisik, “Dia takut padamu.”
Aku melotot padanya dan memukul
bahunya untuk kesekian kali, “Apa kau bilang?!”
“Sampai kapan kau mau memukuliku
begitu? Bisa memar semua badanku,” dia mengelus-elus bahunya lagi.
“Menyebalkan sekali kau ini. Pulang
sana!” aku mendengus kesal.
Dia hanya tertawa. Setelah tawanya
reda, dia berkata, “Aku serius tentang pertanyaan itu tadi. Bagaimana kalau
kita berpisah suatu saat nanti?”
Aku menghela napas, agak berat jika dia
menyadarinya, “Yang pasti aku akan memastikan kita masih bisa berteman.”
“Semoga begitu,” dia
mengangguk-angguk lalu menatap dedaunan di atas yang menaungi kami.
Aku menunduk dan tanpa kusadari aku
meneteskan air mata. Dia berpaling ke arahku, “Kau tidak sedih ‘kan mendengar
pertanyaanku? Jangan-jangan kau bertambah sedih karena aku membuatmu
membayangkan kita akan berpisah. Tunggu, kau menangis?”
“Membayangkannya saja aku tidak
bisa,” kataku sambil tersenyum tapi tetap menangis.
Dia menyentuh pipiku dan menyeka air
mataku, “Hei, kau sebegitu sedihnya membayangkan itu? Maaf, aku bertanya hal
yang tidak-tidak.”
Tembok yang sedang kubangun runtuh
seketika saat dia menyentuhku lembut dan menyeka air mataku. Bagaimana bisa aku
berhenti menunggunya, jika dia seperti ini? Bagaimana bisa aku berhenti
menunggunya, jika dia bertindak seolah dialah satu-satunya yang menyayangiku di
sini? Bagaimana bisa... bagaimana? Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini?
We can deny it as much as we wantBut in time our feelings will show‘cause sooner or laterWe’ll wonder why we gave upThe truth is everyone knows
Tiba-tiba lirik lagu itu terlintas di
pikiranku. Aku tidak pernah mengerti perasaannya yang sebenarnya. Aku tidak
bisa memahami jalan pikirannya. Orang-orang bilang bahwa dia memiliki perasaan
yang sama denganku. Namun, ini sudah seribu hari. Seribu hari lebih. Semua perhatiannya
padaku itu hanya sebatas perhatian seorang teman, katanya. Lalu, siapa yang
memegang kebenaran itu? Cukup, aku menyerah di sini. Aku menyerah mencari
jawaban atas pertanyaan ini. Tidak berguna.
“Mengapa...” aku meredakan tangisanku
dan mulai membuka mulutku, bertanya, “mengapa kau sebaik ini padaku? Tahukah
kau bahwa orang-orang bilang ada sesuatu di antara kita?”
“Hei, kita sudah bersama-sama selama
tiga tahun. Butuh waktu yang lama untukku memiliki teman dekat sepertimu
seperti saat ini. Kau teman dekat yang istimewa, sungguh. Tidak ada yang
memahami diriku seperti yang kamu lakukan,” jawabnya sambil masih menyeka air
mataku.
Almost, almost is never enoughSo close to being in loveIf I would have known that you wanted meThe way I wanted youAnd maybe we wouldn’t be two worlds apartBut right here, in each other arms
Teman dekat, dia bilang. Baik, aku akan
menyusun lagi batu-batu dari tembok yang hancur tadi. Tidak akan kubiarkan
tembok ini runtuh lagi dihadapannya. Perasaan sialan. Menganggu pembangunan
tembok tebal ini saja.
“Hm,” dia berdeham, “apakah selama
ini kau masih menungguku?”
Pikir saja sendiri, batinku. Kesal
sekali aku mendengar pertanyaannya. Bukankah semua tindakanku sudah jelas?[A4] Ingin kupukul bahunya sekali lagi, tetapi
tidak sanggup. Aku hanya diam, memikirkan bagaimana aku harus menyampaikannya,
“Ya, aku masih menunggumu, tiga tahun ini.”
Dia tertegun, tidak menjawab.
Matanya berkaca-kaca.
“Maaf, karena sudah tidak jujur
padamu. Selama ini aku mencari waktu yang tepat untuk menyudahi semua
penantianku yang sia-sia ini, tetapi aku selalu gagal. Memikirkan hari-hariku
tanpamu saja sudah sulit, bagaimana aku harus pergi dari kehidupanmu?” aku
mulai menangis lagi. “Sepertinya sudah saatnya aku berhenti. Kau akan memiliki
gadis pujaanmu itu suatu saat nanti, akupun begitu. Hidup harus terus berjalan
dan aku tidak mungkin akan tetap seperti ini.”
And we almost, we almost knew what love wasBut almost is never enough
“Aku kira kau sudah berhenti waktu itu,
waktu kau bilang kau ingin berhenti. Tahun lalu ‘kan?” dia menatapku dengan
mata berkaca-kaca. “Aku kira kita sudah berteman seperti biasa.”
“Tidak, kawan. Aku masih menunggumu.
Aku menunggumu berpaling kepadaku dan melihatku. Tapi kau tidak pernah bisa
melihatku. Aku bisa apa?” aku tersenyum pahit. Sakit sekali rasanya mengatakan
ini.
“Mengapa tak kau katakan ini lebih
awal? Kukira sudah cukup kau menungguku,” dia mencoba menahan emosinya yang
mungkin rasanya sudah hampir meledak sekarang. “Mengapa?”
“Aku tidak mau pertemanan kita rusak
karena ini. Kau benar, harusnya aku tak menunggumu, aku buang-buang waktu
saja,” jawabku.
“Alasan klasik,” dia mendengus
kesal. “Apakah ini penyebab kau ada di sini di siang bolong begini? Mematikan jaringan
internetmu dan membuatku atau orang lain tidak bisa menghubungimu? Kau
menangisiku?”
“Awalnya aku tidak ingin
menangisimu, tetapi kau datang,” aku masih berusaha tersenyum.
If I could change the world overnightThere’d be no such thing as goodbyeYou’d be standing right where you wereAnd we’d get the chance we deserve
Suara Nathan Sykes berputar di kepalaku.
Sungguh, bisakah aku menghilang saja dari sini sekarang? Atau bisakah aku putar
ulang waktunya sekarang? Aku ingin kembali ke satu tahun yang lalu, di mana aku
menghancurkan kepercayaannya padaku. Aku tidak harus mengakui bahwa aku
memendam perasaan padanya waktu itu. Mengapa kondisinya jadi kacau sekarang?
“Kita bisa saja sedang berkencan
sekarang jika saja kejadian setahun lalu itu tidak terjadi,” katanya dengan
tatapan kosong ke belakangku. “Sayangnya, itu tidak akan terjadi sekarang.”
“Aku tahu. Aku minta maaf atas
kejadian itu,” kataku sambil menyeka pipiku.
“Mengapa kau tidak berhenti saja
waktu itu?” tanyanya lagi. Kali ini dia menatap mataku. Dia bisa tahu apakah
aku menjawab jujur atau tidak.
Aku menghindari tatapan matanya,
“Aku sudah mencobanya, aku belum bisa.”
“Mengapa kau menghindari tatapan
mataku?” tanyanya tegas. Dia seperti tidak akan membiarkanku membohonginya lagi.
Kami berdua diam dalam waktu yang
cukup lama. Aku yakin dia punya banyak pertanyaan di kepalanya sekarang,
walaupun dia tahu tak satupun pertanyaan akan kujawab dengan jujur. Aku
berkali-kali bilang maaf, tetapi dia seperti tidak dengar.
Akhirnya dia buka suara, “Maaf, aku
tidak menyadarinya. Maaf, barusan aku marah padamu.”
Ganti aku yang tertegun. Dia yang
minta maaf?
“Aku terlalu sibuk dengan diriku
sendiri sampai tidak menyadari semua tindakanmu ada maksud tertentu,” katanya
sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. “Maaf, aku tidak bisa membalas
perasaanmu.”
Aku tersenyum semampuku, “Terima
kasih.”
“Untuk apa?” tanyanya heran.
“Untuk semua yang sudah kau lakukan
padaku beberapa tahun ini. Kau perhatian padaku, mengajakku diskusi tentang
banyak hal yang bahkan tidak terpikirkan olehku, kau menemaniku belajar hingga
aku bisa seperti ini sekarang. Terima kasih,” kataku sambil tersenyum.
Dia menatapku seolah bertanya,
“Mengapa kau berterima kasih untuk hal-hal itu?”
“Karena jika tidak ada kau yang
bertingkah seperti itu padaku, aku tidak akan pernah belajar memahami orang
lain,” aku melanjutkan.
Dia menatapku dalam-dalam dengan
matanya yang berkaca-kaca, hingga aku tenggelam dalam tatapan itu dan tidak
sadar dia sudah mencium keningku. Kemudian, dia memegang bahuku dan berkata,
“Kau ini keras kepala sekali. Aku akan merindukanmu.”
We can deny it as much as we wantBut in time our feelings will show‘cause sooner or laterWe’ll wonder why we gave upThe truth is everyone knows
Aku benar-benar ingin menghilang
dari sini. Ah, mengapa suara Nathan Sykes terdengar jelas sekali, berputar di
kepalaku.
Almost, almost is never enough (It’s never enough, babe)So close to being in love (So close)If I would have known that you wanted meThe way I wanted youAnd maybe we wouldn’t be two worlds apartBut right here, in each other arms
Suara Ariana dan Nathan sekarang berpadu
dalam melodi yang indah di kepalaku. Ini seperti latar suara sebuah drama
televisi. Ada yang aneh di sini. Tidak ada yang memutar lagu dengan pengeras
suara di sekitar sini, ‘kan? Taman ini cukup sepi untuk dengan jelas mendengar
musik dengan pengeras suara. Namun, tidak ada yang menyalakan pengeras suara di
sini.
And we almost, we almost knew what love wasBut almost is never enough
“Hei,” dia menyentuh bahuku. Aku
tersenyum. Tidak bisa menjawab. “Permisi,” katanya lagi.
Aku bingung, mengapa dia bilang
permisi? Dia mau ke mana? Ada apa ini? Mengapa pandanganku jadi kabur? Aku
memejamkan mataku.
Kemudian, aku membuka mataku lagi.
Tidak ada. Dia tidak ada. Dia ke mana? Siapa laki-laki yang di depanku ini?
“Maaf, Anda siapa?” Aku membuka earphone-ku.
“Bukankah kau adalah teman dari temanku
yang waktu itu? Hei, kita pernah bertemu. Masih ingat padaku?” tanyanya. Orang ini antusias sekali.
Aku berpikir sejenak,
mengingat-ingat siapa dia. Semenit kemudian aku ingat, aku pernah bertemu
dengannya di tempat temanku yang lain. Aku juga ingat betapa orang ini menarik
perhatianku dari awal bertemu, “Oh, hei. Aku ingat kau. Apa kabar? Apa yang
sedang kau lakukan di sini?”
“Aku baik. Kebetulan aku sedang berjalan
di dekat sini, lalu aku mampir. Kau sendiri apa kabar? Sedang apa di sini
sendirian?” Dia tertawa. “Bahkan kau tidur siang di sini, kau tidak punya
tempat untuk tidur?”
Aku ikut tertawa, masih tertawa
canggung, “Aku baik. Aku tadi sedang cari udara segar, terlalu pengap berada di
dalam ruangan seharian. Benarkah aku tertidur barusan?”
Orang ini tertawa lagi, “Jelas
sekali kau tertidur. Pulas sekali tidur siangmu. Udara di sini memang sejuk,
anginnya sepoi-sepoi.”
Aku tertawa canggung lagi, kemudian
menarik napas dalam-dalam.
“Sudah makan?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan, “Kau?”
“Mau sosis bakar? Tadi aku lihat ada
yang jualan sosis bakar di sana,” katanya sambil menunjuk penjual sosis bakar
yang ada di pinggir taman.
“Boleh, aku lapar,” jawabku sambil
tertawa. Kami pun pergi ke tempat penjual sosis itu sambil mengobrol tentang
banyak hal.
Siang itu, di taman, aku mendapatkan
jawaban yang selama ini aku cari atas pertanyaan-pertanyaanku. Belum semua
pertanyaan terjawab, tetapi aku sudah tahu apakah aku harus menunggu atau
tidak.
No comments:
Post a Comment